Minggu, 25 November 2012

Belajar Konsep



A.    Belajar Konsep
Macam – macam konsep yang kita pelajari tidak terbatas. Konsep panas sangat  berbeda dari konsep relativitas dalam beberapa dimensi. Flavell (1970)  menyarankan, bahwa konsep – konsep dapat berbeda dalam tujuh dimensi yakni sebagai berikut :
  1. Atribut.  Setiap konsep harus mempunyai seumlah atribut yang berbeda. Contoh – contoh konsep harus mempunyai atribut yang relevan; termasuk juga atribut yang tidak relevan. Contoh – contoh konsep meja harus mempunyai suatu permukaan yang datar dan sambungan – sambungan yang mengarah ke bawah yang mengangkat permukaan itu dari lantai. Atribut juga dapat berupa fisik, seperti warna, tinggi, bentuk, atau dapat juga berupa fungsional.
  2. Struktur. Struktur menyangkut cara terkaitnya atau tergabungnya atribut – atribut itu. Berikut tiga macam struktur yang dikenal.
a.       Konsep konjungtif, yaitu konsep yang didalamnya terdapat dua atau lebih sifat sehingga dapat memenuhi syarat sebagai contoh konsep. Misalnya : seorang aktris adalh seorang wanita yang bermain dalam film. Dua atribut, yaitu wanita dan bermain dalam film harus ada agar dapat mewakili konsep aktris.
b.      Konsep disjungtif adalah konsep yang didalamnya satu dari dua atau lebih sifat harus ada. Konsep paman merupakan konsep disjungtif. Paman dapat merupakan kakak ibu atau ayah atau seorang pria yang menikah dengan kakak wanita ayah atau ibu.
c.       Konsep relasional menyatakan hubungan tertentu antara atribut konsep. Kelas sosial merupakan suatu contoh konsep relasional. Kelas sosial ditentukan oleh hubungan antara pendapatan, pendidikan, jabatan atau pekerjaan, dan faktor – faktor lainnya.
  1. Keabstrakan. Konsep – konsep dapat dilihat dan konkret atau konsep itu terdiri atas konsep – konsep lain. Suatu segi tiga dapat dilihat; keinginan lebih abstrak.
  2. Keinklusifan. Ini ditunjukkan pada jumlah contoh yang terlibat dalam konsep itu. Bagi seorang anak kecil, konsep kucing ditunjukkan pada seekor hewan tertentu, yaitu kucing keluarga. Bila anak itu telah mengenal beberapa kucing lainnya, konsep kucing akan menjadi lebih luas, termasuk lebih banyak contoh.
  3. Generalitas atau keumuman. Bila diklasifikan, konsep dapat berbeda dalam konsep itu. Bagi seorang anak kecil, konsep kucing ditujukan pada seekor hewan tertentu, yaitu kucing keluarga. Bila anak itu telah mengenal beberapa kucing lainnya, konsep kucing akan menjadi lebih luas, termasuk lebih banyak contoh.
  4. Ketepatan. Ketepatan suatu konsep menyangkut apakah ada sekumpulan aturan untuk membedakan contoh dengan noncontoh suatu konsep. Klausmeier (1977) mengemukakan empat tingkat pencapaian konsep, mulai dari tingkat konkret ke tingkat formal. Konsep pada tingkat formal merupakan konsep yang paling tepat sebab pada tingkat ini atribut – atribut yang dibutuhkan konsep dapat didefinisikan.
  5.  Kekuatan. Kekuatan suatu konsep ditentukan oleh sejauh  mana orang setuju bahwa konsep itu penting.
Karena ada berbagai konsep seperti yang telah dikemukakan di atas, sulit rasanya untuk sampai pada satu definisi konsep. Menurut Rosser (1984), konsep adalah suatu abstraksi yang mewakili satu kelas objek, kejadian, kegiatan, atau hubungan yang mempunyai atribut yang sama. Karena orang mengalami stimulus yang berbeda-beda, orang membentuk konsep sesuai dengan pengelompokan stimulus dengan cara tertentu. Karena konsep itu adalah abstraksi – abstraksi yang berdasarkan pengalaman dan tidak ada dua orang yang  mempunyai pengalaman yang persis sama,  konsep  yang dibentuk orang mungkin berbeda juga. Walaupun konsep kita berbeda, konsep itu cukup  serupa bagi kita berikan pada konsep – konsep itu yang telah kita terima bersama. Nama – nama atau kata – kata ini adalah simbol arbitrar yang digunakan untuk menyatakan konsep – konsep yang merupakan abstraksi internal itu. Nama – nama itu sendiri bukanlah konsepnya. Konsep kita tentang siswa tidak akan berubah, walaupun nama atau labelnya berbeda.
      Secara singkat dapat kita katakan bahwa suatu konsep merupakan suatu abstraksi yang mewakili satu kelas stimulus. Maka dapat kita simpulkan bahwa suatu konsep telah dipelajarai bila yang diajar dapat menampilkan perilaku – perilaku tertentu.
B. Perolehan konsep
        Menurut Ausubel (1968) konsep diperoleh dengan menggunaka dua cara, taitu pembentukan konsep dan asimilasi konsep. Pembentukan konsep terutama merupakan bentuk perolehan konsep sebelum anak – anak masuk seolah. Pembentukan konsep dapat disamakan dengan belajar konsep konkret menurut Gagne (1977). Asimilasi konsep merupakan cara utama untuk memperoleh konsep selama dan sesudah sekolah.
1.      Pembentukan Konsep
Banyak konsep yang sudah kita peroleh berkembang semasa kita kecil. Akan tetapi konsep itu telah mengalami modifikasi atau perubahan karena pengalaman – pengalaman kita semasa kecil.
Pembentukan konsep merupakan proses induktif. Bila anak dihadapkan pada stimulus lingkungan, ia mengabstraksi sifat atau atribut tertentu yang sama dari berbagai stimulus. Pembentukan konsep merupakan suatu bentuk belajar penemuan, paling sedikit dalam bentuk primitif. Pembentukan konsep juga ditunjukkan oleh orang – orang yang lebih tua dalam situasi kehidupan nyata dan laboratorium, tetapi dengan tingkat kerumitan yang lebih tinggi.
2.      Asimilasi Konsep
Untuk memperoleh konsep melalui proses asimilasi, oran yang belajar harus sudah memperoleh definisi formal konsep itu. Suatu definisi formal suatu kata harus menunjukkan kesamaan konsep tertentu dan membedakan kata itu dari konsep – konsep lain (Rosser, 1984: 437). Sedangkan asimilasi konsep menyangkut cara bagaimana peserta didik dapat mengaitkan informasi atau materi pelajaran dengan struktur kognitif yang telah ada. Asimilasi konsep terjadi setelah anak mulai memasuki bangku sekolah. Asimilasi konsep ini terjadi secara deduktif. Biasanya anak diberi atribut sehingga mereka belajar konseptual, misalnya atribut dari gajah adalah hewan dan belalai. Dengan demikian anak dapat membedakan antara konsep gajah dengan hewan-hewan lain.
Definisi formal gajah, hewan terbelalai, memberi kata itu atribut – atribut yang dimiliki oleh hewan, tetapi membedakannya dengan hewan – hewan lain melalui konsep terbelalai. Sesudah definisi konsep itu disajikan, konsep itu dapat diilustrasikan dengan memberikan contoh atau deskripsi verbal contoh. Ini biasanya disebut belajar konsep sebagai aturan/contoh atau “rule-eg”. Ausubel (1968) menyarankan penggunaan belajar rule-eg ini dalam mengajar expository. Selanjutnya Ausubel berpendapat, karena definisi – definisi yang diperlukan serta konteks yang sesuai disajikan dan bukan ditemukan, asimilasi konsep dapat menjadi satu contoh belajar penerimaan bermakna.
Walaupun kedua bentuk belajar konsep ini efektif, pembentukan konsep lebih memakan waktu daripada asimilasi konsep. Dengan mempertimbangkan bahwa begitu banyak konsep yang harus dipelajari siswa selama sekolah, penggunaan berlebihan metode penemuan hendaknya dibatasi. Mereka penganjur belajar penemuan yakin bahwa konsep yang dipelajari secara eg-rule lebih bermakna bagi para siswa daripada konsep yang dipelajari dengan cara rule-eg, tetapi ada pula ahli teori belajar yang tidak sependapat dengan ini, antara lain Ausubel.
C.  Penjelasan Teoritis tentang Belajar Konsep
      Pada penjelasan ini ada dua pendekatan yang digunakan, yaitu pendekatan perilaku dan pendekatan kognitif. Dalam bagian ini pembahasan dilakukan dengan penekanan pada pendekatan kognitif.
1.      Pendekatan Perilaku
Perbedaan utama antara belajar konsep dan belajar-belajar yang lain ialah, dalam belajar konsep anak yang belajar memberikan sutau respons terhadap sejumlah stimulus yang berbeda, jadi bukan memberikan respons terhadap satu stimulus. Stimulus-stimulus itu berbeda dalam beberapa atribut, tetapi stimulus-stimulus itu mempunyai stau atau lebih atribut yang sama. Tugas anak atau siswa ialah untuk mengasosiasikan satu respons dengan atribut-atribut yang sama di antara stimulus-stimulus itu.
Bagi para pengikut teori-teori perilaku, belajar konsep melibatkan perubahan-perubahan kuantitatif. Perubahan-perubahan itu terdiri atas: (1.) Penambahan lebih banyak stimulus pada suatu respons yang sudah dipelajari, atau (2.) peningkatan jumlah berbagai hubungan S-R.
Para perilakuwan menekankan aspek-aspek yang dapat diamati dari situasi sebagai faktor-faktor penting dalam belajar konsep. Beberapa penelitian menunjukkan, bahwa belajar konsep dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut:
1.      Polareinforsemen dan umpan balik. Dengan hanya menghadapkan subjek-subjek pada contoh-contoh suatu konsep tanpa memberikan umpan balik, mempunyai sedikit efek pada penampilan mereka.
2.      Jumlah contoh-contoh positif dan negatif. Beberapa studi telah memperingatkan, bahwa konsep-konsep lebih cepat dipelajari dari misal-misal positif yaitu berarti menyediakan contoh-contoh yang tidak memiliki atribut-atribut yang relevan akan mempertajam konsep-konsep.
3.      Jumlah atribut-atribut. Makin banyak atribut-atribut relevan dimiliki konsep, makin sulit konsep itu dipelajari. 

2.      Pendekatan kognitif
Pendekatan kognitif tentang belajar memusatkan pada proses pemerolehan konsep dalam sifat konsep dan bagaimana konsep itu disajikan dalam struktur kognitif. Walaupun para teoretikus kognitif memikirkan kondisi yang memperlancar pembentukan konsep, penekanan mereka ialah pada proses internal yang digunakan dalam belajar konsep.
            Studi kogitif tentang perolehan konsep telah memperlihatkan beberapa penemuan sebagai yang dikemukakan di bawah ini.
1.      Konsep konjungtif lebih mudah dipelajari dari pada konsep disjungtif atau konsep relasional. Banyak studi yang memperlihatkan bahwa suatu konsep yang menghendaki adanya dua atau lebih atribut lebih mudah dipelajari dari pada suatu konsep yang menghendaki salah satu atribut dari dua atau lebih atribut.
2.      Belajar konsep lebih mudah dengan menggunakan paradigma selektifndari pada paradigma reseptif. Penyajian bersamaan contoh dan non contoh mengurangi tuntutan pada memori. Bila paradigma resepif digunakan, pada subjek diperlihatkan suatu contoh konsep, contoh dihilangkan, lalu stimulus yang lain disajikan. Subjek harus mengingat atribut-atribut contoh untuk dapat memberikan respons pada stimulus yang baru. Akan tetapi, jika berbagai noncontoh timbul, subjek mungkin lupa akan atribut-atribut contoh.

3.      Beberapa Pendekatan Dewasa Ini
Semenjak tahun 1960-an tampak ada suatu pergeseran dalam pendekatan-pendekatan dalam studi belajar konsep, terutama ahli psikologi pendidikan. Perubahan ini disebabkan tulisan Caroll (1964) yang menekankan perbedaan antara belajar konsep dalam laboratorium dan belajar konsep disekolah. Caroll mengemukakan perbedaan dalam kedua proses itu sebagai berikut.
a.       Kedua bentuk konsep berbeda dalam sifat. Konsep yang biasanya dipelajari di sekolah biasanya merupakan benar-benar suatu konsep baru, bukan suatu kombinasi buatan dari atribut-atribut yang dikenal.
b.      Konsep yang dipelajari di sekolah bergantung pada atribut yang berupa konsep-konsep sulit. Lagi pula konsep-konsep sekolah biasanyabersifat verbal dan tidak dapat disajikan oleh benda-benda konkret.
c.       Studi di laboratorium memberi penekanan pada belajar konsep konjungtif yang sudah di buktikan mudah untuk dipelajari dari pada konsep disjungtif atau konsep relasional.
d.      Studi di laboratorium pada umumnya menekankan pada pendekatan induktif tentang belajar konsep, sedangkan sebagian besar konsep di sekolah secara deduktif.

Dalam artikelnya Caroll memberikan prosedur bagaimana mengajarkan beberapa konsep, seperti longituda, turis, dan beberapa lainnya. Pendekatan yang digunakannya didasarkan pada kombinasi teknik induktif dandeduktif. Ia menyarankan bahwa pendekatan kombinasi mungkin lebih baik dari pada penggunaan salah satu teknik saja.
Saat artikel caroll keluar, Gagne (1965) menerbitkan edisi pertama bukunya yang berjudul The Conditions of learningyang menekankan belajar konsep di sekolah.  Menurut Gagne, belajar konsep merupakan satu bagian dari suatu hierarki dari delapan bentuk belajar. Dalam hierarki ini, setiap tingkat belajar tergantung pada tingkat-tingkat sebelumnya. Hierarki Gagne disjikan dalam Tabel 6.1 (Rosser, 1984:445). Bentuk belajar 6, belajar konsep, ekuivalen dengan pembentukan konsep. Asimilasi konsep dapat berupa bentuk khusus dari belajar aturan (rule learning), yaitu bentuk 7.






Tabel 6.1  Hierarki Belajar Gagne
Bentuk Belajar
Prosedur
Contoh
1.    Belajar tanda (sinyal)
Conditioning klasik
Mata dikejapkan terhadap suatu suara setelah suara dipasangkan dengan hembusan udara pada mata.
2.    Belajar stimulus-respons
Conditioning Operant
Belajar yang terjadi pada bayi untuk memegang botol susu
3.    Chaining
Seri koneksi-koneksi S-R
Membuka pintu, terdiri atas :
1. Menempatkan kuci
2. Memasukkan kunci
3. Memutar kunci
4. Membuka kunci
4.    Asosiasi verbal
Rantai verbal, tentang memberi nama objek dan koneksi kata menjadi urutan verbal
Belajar “Sumpah Pemuda”.
5.    Belajar diskriminasi
Menghasilkan respons yang berbeda pada stimulus-stimulus yang mirip
Membedakan lingkaran dari elips.
6.    Belajar konsep konkret
Membuat respon yang sama pada stimulus-stimulus dengan atribut yang mirip
Respons yang sama tentang rumah terhadap berbagai ukuran dan bentuk gedung.
7.    a. Konsep terdefinisi
Menggunakan konsep yang telah dipelajari sebelumnya untuk memperoleh suatu konsep baru
Saudara sepupu ialah anak laki-laki atau anak perempuan dari paman atau bibi
b. Aturan
Memberikan respons pada satu kelas stimulus dengan satu kelas penampilan
Jarak sama dengan kecepatan kali waktu.
8.    Pemecahan masalah
Menggabungkan uturan untuk mencapai suatu pemecahan yang menghasilkan suatu aturan dengan tingkat lebih tingkat
Menemukan langkah-langkah dalam membuktikan suatu teori dalam geometri.


Kondisi-kondisi untuk mempelajari konsep terdefinisi menurut Gagne (1988) akan diberikan dibawah ini. Kondisi utama ialah bahwa siswa atau orang yang belajar harus sudah memiliki konsep-konsep yang meliputi konsep terdefinisi yang akan dipelajari.
1.    Kondisi internal : untuk memperoleh konsep terdefinisi, siswa harus mengeluarkan atau memanggil semua komponen konsep itu yang terdapat dalam definisi, termasuk konsep yang menyatakan hubungkan antara konsep-konsep.
2.    Kondisi eksternal : suatu konsep terdefinisi dapat dipelajari dengan menyuruh para siswa mengamati suatu demonstrasi. Latihan-latihan dilaboratorium dalam pelajaran fisika banyak menunjukkan bagaimana para siswa memperoleh konsep terdefinisi, misalnya suatu demonstrasi mengenai konsep massa. Akan tetapi, kerap kali konsep terdefinisi “ didemonstrasikan” melalui definisi yang dinyatakan secara verbal. Untuk onsep massa misalnya, seorang guru memberikan definisi : “Massa ialah sifat yang menentukan jumlah akselerasi (percepatan) yang diberikan pada suatu benda oleh gaya tertentu”. Secara ideal sebenarnya, suatu perilaku yang menunjukkan dimilikinya konsep ini, yaitu menentukan berbagai benda dengan massayang berbeda, ditunjukkan secara berbeda dalam akselerasi yang dihasilkan oleh gaya yang sama. Tentunya, secara kuanitatif, hubungan proporsional antara massa dan akselerasi seharusnya didemonstrasikan sesuai dengan hubungan :
a = f/m (a = akselerasi, f = gaya, m = massa).

D.    Tingkat-Tingkat Pencapaian Konsep
Pengembangan konsep-konsep melalui satu seri tingkatan. Tingkat-tingkat itu mulai dengan hanya mampu menunjukkan satu contoh dari suatu konsep hingga dapat sepenuhnya menjelaskan atribut-atribut konsep. Kita tidak mencapai semua konsep kita pada tingkat yang sama. Sebagian besar dari kita dapat menjelaskan secara sempurna atribut-atribut dari konsep buku. Mungkin kita pernah mengalami, waktu seseorang menanyakan konsep kita tentang suatu kata, kita dapat menghubungkan kata itu pada konsep-konsep yang lain, atau menggunakannya dalam suatu kalimat, tetapi tidak dapat mendefinisikannya secara formal.  Kita mencapai konsep-konsep pada tingkat-tingkat yang berbeda.
Klausmeier (1997) menghipotesikan, bahwa ada empat tingkat pencapaian konsep. Tingkat-tingkat ini muncul dalam urutan yang invarian. Orang sampai pada pencapaian tingkat tertinggi dalam kecepatan yang berbeda-beda, dan ada konsep-konsep yang tidak pernah tercapai pada tingkat yang paling tinggi. Konsep-konsep yang bebeda dipelajari pada usia-usia yang berbeda. Dari teori perkembangan Piaget kita mengetahui, bahwa anak-anak yang masih kecil baru dapat belajar konsep-konsep konkret, sedangkan konsep-konsep yang lebih sulit atau lebih abstrak dipelajari setelah mereka besar.
Empat tingkat pencapaian konsep menurut Klausmeier adalah tingkat konkret, tingkat identitas, tingkat klasifikatori (classificatory), dan tingkat formal. Ia menerapkan tingkatan-tingkatan ini hanya pada konsep-konsep yang mempunyai lebih dari satu contoh, yang mempunyai contoh-contoh yang dapat diamati, atau wakil-wakil (representations) dari contoh-contoh, dan konsep-konsep ini didefinisikan dalam atribut-atribut. Konsep-konsep relasional dan konsep-konsep lain mungkin mempunyai hanya sebagian dari kualitas-kualitas ini, jadi mungkin konsep-konsep itu mengikuti pola pencapaian yang berbeda. Tetapi, konsep-konsep yang diajarkan di sekolah pada umumnya memenuhi persyaratn yamg dikemukakan oleh Klausmeier. Uraian tentang empat tingkat pencapaian konsep Klausmeier diberikan dibawah ini.




1.    Tingkat Konkret
Kita dapat menyimpulkan, bahwa seseorang telah mencapai konsep pada tingkat konkret, apabila orang itu mengenal suatu benda yang telah dihadapinya sebelumnya. Seorang anak kecil yang pernah memperoleh kesempatan bermain dengan mainan, dan ia membuat respons yang sama waktu ia melihat maian itu kembali, telah mencapai konsep tingkat konkret.
Untuk mencapai konsep tingkat konkret, siswa harus dapat memperhatikan benda itu, dan dapt membedakna benda itu dari stimulus-stimulus yang ada di lingkungannya. Selanjutnya ia harus menyajikan benda itu sebagai suatu gambaran mental, dan menyimpan gambaran mental itu.
Pencapaian tingkat ini ditandai dengan adanya pengenalan anak terhadap suatu benda yang pernah ia kenal. Misalnya pada suatu saat anak bermain kelereng dan pada waktu yang lain dengan tempat yang berbeda ia menemukan lagi kelereng, lalu ia bisa mengidentifikasi bahwa itu adalah kelereng maka anak tersebut sudah mencapai tingkat konkret. Dengan demikian dapat dikatakan juga anak mampu membedakan stimulus yang ada di lingkungannya terhadap kelereng tersebut. Pada saat ini anak sudah mampu menyimpan gambaran mental dalam struktur kognitifnya.

2.    Tingkat Identitas
Pada tingkat identitas, seorang akan mengenal suatu objek (a) sesudah selang suatu waktu, (b) bila orang itu mempunyai orientasi ruang (spatial orientation) yang berbeda terhadap objek itu, atau (c) bila objek itu ditentukan melalui suatu cara indera (sense madality) yang berbeda, misalnya, mengenal suatu bola dengan cara menyentuh bola itu bukan dengan melihatnya.
Selain ketiga opersi yang dibutuhkan untuk pencapaian tingkat konkret, yaitu: memperhatikan, mendiskriminasi dan mengingat, siswa harus dapat mengadakan generalisasi, untuk mengenal bahwa dua bentuk atau lebih yang identik dari benda yanf sama adalah anggota dari kelas yang sama. Ada ahli psikologi yang menggunakan istilah-istilah yang berbeda untuk menunjukkan dua tingkat pencapaian konsep ini. Gagne (1976) menggunakan istilah diskriminasi untuk tingkat konkret, dan generalisasi dari diskriminasi untuk tingkat identitas.


3.    Tingkat Klasifikatori (clssificatory)
Pada tingkat klasifikatori, siswa mengenal persamaan persamaan (equivalence) dari dua contoh yang berbeda dari kelas yang sama. Walaupun siswa itu tidak dapat menentukan kriteria atribut maupun menentukan kata yang dapat mewakili konsep itu, ia dapat mengklasifikasikan contoh-contoh dan noncontoh-noncontoh dari konsep, sekalipun contoh-contoh dan noncontoh-noncontoh itu mempunyai banyak atribut-atribut yang mirip.
Operasi metal tambahan yang terlibat dalam pencapaian konsep pada tingkat klasifikatori ialah mengadakan generalisasi bahwa dua contoh atau lebih sampai batas-batas tertentu itu equivalen. Dalam operasi mental ini siswa berusaha untuk mengabstraksi kualitas-kualitas yang sama yang dimiliki oleh objek-objek itu.
Tingkat klasifikatori dapat digambarkan anak sudah mampu mengenal persamaan dari contoh yang berbeda tetapi dari kelas yang sama. Misalnya anak mampu membedakan antara apel yang masak dengan apel yang mentah.

4.    Tingkat Formal
Untuk pencapaian konsep pada tingkat formal, siswa harus dapat menentukan atribut-atribut yang membatasi konsep. Kita dapat menyimpulkan bahwa siswa telah mencapai suatu konsep pada tingkat formal, bila siswa itu dapat memberi nama konsep itu, mendefinisikan konsep itu dalam atribut-atribut kriterianya, mendeskriminasi dan memberi nama atribut-atribut yang membatasi, dan mengevaluasi atau memberikan secara verbal contoh-contoh dan mencontoh dari konsep.
Pada tingkatan formal anak sudah mampu membatasi suatu konsep dengan konsep lain, membedakannya, menentukan ciri-ciri, memberi nama atribut yang membatasinya, bahkan sampai mengevaluasi atau memberikan contoh secara verbal.
Klausmeier (1977) menyarankan bahwa operasi-operasi yang terlibat dalm pencapaian formal dapat induktif maupun deduktif. Ada dua bentuk operasi-operasi induktif. Bentuk pertama ekuivalen dengan pembentukan konsep yang telah dibahas terdahulu: siswa merumuskan aturn-aturan dari peristiwa-peristiwa dengan sejumlah contoh-contoh positif ayng berbeda. Bentuk induktif yang kedua ialah suatu pendekatan pengujian-hipotesis. Dalam pendekatan ini siswa merumuskan hipotesis tentang atribut-atribut mana yang relevan, menguji hipotesis-hipotesis itu terhadap contoh-contoh positif dan negatif, dan memperbaiki hipotesis itu bila perlu.
Operasi deduktif mirip dengan asimilasi konsep yang telah dibahas dalam bagian terdahulu. Siswa diberi nama konsep, atribut-atribut kriteria, dan uaraian verbal tentang contoh-contoh. Aturan-aturan untuk dapat dimasukkan ke dalam suatu kategori didefinisikan, sehingga siswa dapat menggunakan aturan-aturan itu untuk menentukan apakah suatu stimulus termasuk ke dalam kategori itu.
Dalam suatu studi longitidinal tentang pengembangan konsep, Klausmeier menemukan, bahwa banyak anak mencapai konsep-konsep yang diteliti-equilateral triangle, noun, tree, and cutting tool-pada akhir taman kanak-kanak. Ditemukan, bahwa pencapaian meningkat terus selama tahun-tahun sekolah.
E.   Menentukan Konsep-Konsep yang akan Diajarkan
Informasi tentang konsep-konsep yang harus diajarkan pada siswa dengan umur tertentu atau kelas tertentu, dapat diturunkan dari sejumlah sumber, termasuk penulis-penulis buku-buku pelajaran, pengetahuan, dan pengalaman guru itu sendiri, atau anak-anak dan siswa itu sendiri.
Guru-guru tergantung pada penulis-penulis buku teksdan para ahli pengembang kurikulum untuk bimbingan dalam memutuskan konsep-konsep yang harus diajarkan. Para penulis buku teks telah memilih konsep-konsep yang sesuai bagi para siswa dalam bidang studi tertentu pada tingkat sekolah tertentu. Kata-kata yang mewakili konsep baru biasanya dicetak tebal atau miring. Ada beberapa penulis memulai bab bukunya dengan suatu daftar dari konsep-konsep baru, atau memasukkan pertanyaan-pertanyaan di dalam atau pada akhir bab yang meminta para siswa untuk memberikan definisi konsep-konsep penting.
Markle (dalam Rosser, 1984), mengemukakan bahwa kerap kali buku-buku itu menyajikan konsep-konsep yang tidak lengka, atau menggunakan konsep-konsep yang mungkin tidak di kenal para siswa, untuk menjelaskan atau mendefinisikan konep baru. Ada sekolah-sekolah yang mengembangkan sendiri penuntun kurikulum dalam menentukan konsep-konsep yang diharapkan dapat dipelajari para siswa dalam tiap bidang studi dan tiap kelas. Penuntun itu dapat berupa tujuan-tujuan instruksional yang dinyatakan dalam perilaku, atau hanya berupadaftar konsep-konsep esensial (key concepts).
Pengalaman-pengalaman serta pengetahuan itu sendiri merupakan sumber lain untuk menentukan konsep-konsep yang mana yang harus diajarkan kepada para siswa. Kemampuan konseptual harus diperhatikan dalam mengambil keputusan. Tingkat-tingkat perkembangan piaget memberikan informasi tentang kemampuan-kemampuan kognitif yang dapt digunakan untuk menentukan kemampuan-kemampuan konseptual itu. Misalnya anak-anak sekolah dasar lebih mudah belajar konsep-konsep dengan contoh-contoh konkret, sedangkan para siswa yang telah mencapai tingkat operasi-operasi formal dapat belajar konsep-konsep yang lebih abstrak.
            Perkembangan bahasa siswa itu sendiri juga mempengaruhi macam-macam konsep yang dapat mereka pelajar, dan metode mengajar yang dapat digunakan. Penggunaan bahasa guru yang sesuai dengan umur siswa merupakan pertimbangan yang penting dalam mengajar konsep. Para siswa itu sendiri merupakan sumber lain untuk menentukan konsep-konsep yang akan diajarkan. Andaikata kita dapat menyelami para siswa untuk melihat struktur kognitif mereka, kita mungkin dapat menentukan kekosongan-kekosongan, ketidak-ajekan (inconsistencies) yang membutuhkan bimbingan. Oleh karena itu, kita harus waspada terhadap perilaku-perilaku siswa yang menunjukkan bahwa suatu konsep belum dicapai. Para siswa kerap kali menunjukkan konsep-konsep yang ingin mereka pelajari dengan pertanyaan yang mereka ajukan. Demikian pula, respons-respons siswa terhadap pertanyaan guru dapat menunjukkan bahwa mereka telah gagal untuk mencapai suatu konsep atau mereka telah mencapainya secara tidak benar. Guru-guru yang terampil mungkin dapat menemukan sumber ketidaktepatan ini melalui pertanyaan-pertanyaan. Dengan membiarkan siswa maju dengan konsep-konsep yang tidak tepat, dapat menimbulkan masalah-masalah belajar di masa yang akan datang.
            Penuntun-penuntun kurikulum dan buku-buku teks menyediakan suatu kerangka untuk konsep-konsep yang akan diajarkan, dan perilaku para siswa akan menentukan konsep-konsep lain. Pengetahuan guru tentang perkembangan kognitif dan perkembangan bahasa itu sendiri akan menyediakan informasi tambahan, bukan hanya sekedar menentukan konsep-konsep yang akan diajarkan, melainkan juga untuk menentukan tingkat-tingkat yang dapat kita harapkan dicapai oleh para siswa.
F.    Merencanakan Pelajaran 
          Sesudah memilih konsep-konsep yang akan diajarkan, guru hendaknya merencanakan strategi-strategi pengajaran untuk mengajarkan konsep-konsep itu. Dalam merencanakan, guru harus memutuskan tingkat pencapaian konsep yang mana yang dapat diharapkan dari para siswa. Analisis konsep akan dapat menolong guru dalam hal ini, dan memilih materi pelajaran yang akan diberikan.
1.      Menentukan Tingkat Pencapaian Konsep
Tingkat pencapaian konsep yang diharapkan dari siswa, tergantung pada kompleksitas dari konsep, dan tingkat perkembangan kognitif siswa. Ada siswa yang belajar konsep pada tingkat konkret rendah atau tingkat identitas, ada pula siswa yang mampu mencapai konsep pada tingkat klasifikatori atau tigkat formal. Misalkan konsep keluarga. Anak yang belum bersekolah mungkin belajar konsep keluarga sebagai “Orang-orang yang tinggal bersamaku – ayah, ibu, addik, dan kakak.” Anak yang lebih tua dapat mengembangkan konsep itu lebih lanjut: Orang-orang yang mempunyai keturunan sama, atau orang-orang yang bergabung karena perkawinan.” Konsep ini masih dapat berkembang seterusnya dengan belajarnya anak tentang keluarga tumbuhan dan keluarga hewan, dan seterusnya.
Telah diketahui, bahwa tingkat-tingkat perkembangan Piaget dapat membimbing guru untuk menentukan tingkat-tingkat pencapaian konsep yang diharapkan. Sebagian besar dari konsep-konsep yang dipelajari selama tingkat perkembangan pra-operasional merupakan konsep-konsep pada tingkat konkret atau tingkat identitas. Selama tingkat operasinoal konkret, dapat diharapkan tingkat pencapaian klasifikatori, paling sedikit untuk konsep-konsep yang mempunyai contoh-contoh konkret. Tingkat pencapaian formal dapat diharapkan, bila pengajaran yang tepat diberikan pada siswa-siswa pada periode operasional formal.
Tingkat-tingkat pencapaian konsep yang diharapkan tercermin dari tujuan-tujuan pengajaran yang dirumuskan bagi para siswa. Misalnya, untuk pencapaian konsep bujursangkar pada berbagai tingkat dirumuskan tujuan-tujuan instruksional sebagai berikut:
1.      Dengan diperlihatkan gambar bujursangkar, siswa dapat memberikan respon “bujursangkar”.
2.      Dengan memperlihatkan gambar suatu bujursangkar, suatu segitiga, dan suatu lingkaran, siswa dapat memilih bujursangkar dengan menunjuk gambarnya.
3.      Dengan memperlihatkan Gambar 6-1 (Rosser, 1984:458), siswa akan melingkari setiap bujursangkar.
4.      Siswa dapat membuat daftar yang berisi atribut-atribut kriteria bujursangkar.
Tujuan-tujuan instruksional ini meminta berbagai bukti tentang perolehan konsep bujursangkar. Setiap tujuan instruksional itu merupakan tujuan instruksional yang sesuai bagi anak dengan tingkat perkembangan kognitif tertentu. Tujuan-tujuan instruksional yang adekuat akan mengkhususkan perilaku-perilaku yang menyatakan berbagai tingkat pencapaian konsep.










                        Gambar 6-1. Lembaran kerja diskriminasi bujursangkar

2.      Analisis Konsep
Analisis konsep merupakan suatu prosedur yang dikembangkan untuk menolong guru dalam merencanakan urutan-urutan pengajaran bagi pencapaian konsep. Teknik-teknik semacam ini telah dikembangkan oleh Klausmeier, Ghatala, dan Frayer (1974), dan oleh Markle dan Tiemann (1970), dan oleh beberapa orang lainnya. Walaupun prosedur-prosedur itu mempunyai beberapa perbedaan, beberapa langkah dimiliki oleh semua prosedur itu.
Untuk melakukan analisis konsep, guru hendaknya memperhatikan hal-hal di bawah ini :
1.      Nama konsep.
2.      Atribut-atribut kriteria dan atribut-atribut variabel dari konsep.
3.      Definisi konsep.
4.      Contoh-contoh dan noncontoh-noncontoh dari konsep.
5.      Hubungan konsep dengan konsep-konsep lain.
Analisis konsep dengan konsep bujursangkar, (Rosser, 1984:461), adalah sebagai berikut :
1.      Nama konsep. Orang dapat membentuk konsep-konsep tanpa memberi nama pada konsep-konsep itu, terutama pada tingkat konkret dan tingkat identitas. Anak-anak yang masih kecil menyusun kata-kata mereka sendiri untuk menyajikan konsep-konsep yang mereka bentuk. Tetapi, sesudah mereka masuk sekolah, mereka diberi pelajaran tentang na,ma-nama konsep yang telah diterima secara luas. Dengan meyetujui nama untuk suatu konsep orang dapat berkomunikasi tentang konsep itu.
Atribut-atribut kriteria    : Tertutup, datar, sederhana, empat sisi, sisi-sisi sama panjang,       sudut-sudut sama.
Atribut-atribut variabe      :  Besar, letak pada halaman, warna.
Definisi-definisi konsep  : 1)Suatu bentuk tertutup, datar, sederhan dengan empat sisi sama dan empat sudut sama. 2)Suatu poligon dengan empat sisi sama dan empat sudut sama.
2.        Atribut-atribut kriteria dan variabel konsep. Atribut-atribut kriteria dari suatu konsep adalah ciri-ciri konsep yang perlu untuk membedakan contoh-contoh dan noncontoh-noncontoh, dan untuk menentukan apakah suatu objek baru merupakan suatu contoh dari konsep. Walaupun semua atribut-atribut dari suatu konsep tidak diajarkan pada setiap tingkat pencapaian, guru hendaknya menyadari hal ini untuk memastikan bahwa contoh-contoh dan noncontoh-noncontoh selalu dibedakan. Dari analisis kosep bujursangkar kita belajar bahwa konsep itu mempunyai atribut-atribut krtiteria : bentuk tertutup, datar, sederhana, yang mempunyai empat sisi sama panjang dan empat sudut sama.

Atribut-atribut variabel konsep ialah ciri-ciri yang mungkin berbeda diantara contoh-contoh tanpa mempengaruhi inklusi dalam kategori konsep itu. Guru dapat mengubah-ubah atribut-atribut ini dalam contoh-contoh yang digunakan dalam mengajar. Bujursangkar misalnya, dapat berbeda dalam besar, lokasi pada halaman, dan warna.

3.        Definisi konsep. Walaupu para siswa tidak diharapkan untuk belajar definisi formal dari suatu konsep, analisis konsep harus memasukkan definisi, sekalipun anak-anak pada tingkat konkret dan tingkat identitas pada umumnya tidak diharapkan untuk dapat mendefinisikan konsep. Pada tingkat klasifikatori siswa mungkin dapat menyebutkan sebagian dari atribut-atribut, tetapi tidak semuanya, dan pada umunya hanya mencolok (predominant). Pada tingkat formal siswa dapat belajar konsep melalui definisi yang diberikan. Kemampuan untuk menyatakan suatu definisi dari suatu konsep dapat digunakan sebagai suatu kriteria bahwa siswa telah belajar konsep itu.

Analisis konsep dapat menghasilkan dua definisi dari konsep bujursangkar. Definisi pertama merupakan suatu pernyataan dari semua atribut-atribut kriteria dari bujursangkar. Definisi kedua menggunakan konsep superordinat, poligon, untuk menyatakan bahwa bujurasangkar mempunyai ciri-ciri dari suatu poligon, dan untuk menunjukkan atribut-atribut yang membedakan bujursangkar dari poligon-poligon yang lain.

4.      Contoh-contoh dan noncontoh-noncontoh. Dengan membuat daftar dari atribut-atribut suatu konsep, pengembangan konsep-konsep dan nonkonsep-nonkonsep dapat diperlancar. Klausmeier, Rosmiller, dan Sally ( dalam Rosser, 1985) menyarankan agar paling sedikit harus dikembangkan satu himpunan rasional tentang contoh-contoh. Suatu himpunan rasional terdiri atas contoh-cotoh konsep dipasangkan dengan kekurangan satu atribut kriteria. Himpunan kriteria yang dikembangkan untuk konsep bujursangkar memberika atribut kriteria y;ang kurang dalam setiap noncontoh.

5.      Hubungan konsep pada konsep-konsep lain : superordinat, koordinat, dan subordinat. Untuk sebagian besar konsep-konsep, kita dapat mengembangkan suatu hirarki dari konsep-konsep yang berhubungan yang memperlihatkan bagaimana suatu konsep terkait pada konsep-konsep lain. Pembentukan suatu hirarki dapat menolong dalam mengajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar