Pengertian Bimbingan dan Konseling
M. Surya (1988:12) berpendapat bahwa bimbingan adalah suatu proses pemberian atau layanan bantuan yang terus menerus dan sistematis dari pembimbing kepada yang dibimbing agar tercapai perkembangan yang optimal dan penyesuaian diri dengan lingkungan.
Bimbingan ialah penolong individu agar
dapat mengenal dirinya dan supaya individu itu dapat mengenal serta dapat
memecahkan masalah-masalah yang dihadapi di dalam kehidupannya (Oemar Hamalik,
2000:193).
Bimbingan adalah suatu proses yang
terus-menerus untuk membantu perkembangan individu dalam rangka mengembangkan
kemampuannya secara maksimal untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya,
baik bagi dirinya maupun bagi masyarakat (Tim Pengembangan MKDK IKIP Semarang,
1990:11).
Dari beberapa pendapat di atas
dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa bimbingan merupakan suatu bentuk layanan
bantuan yang diberikan kepada individu agar dapat mengembangkan kemampuannya
seoptimal mungkin, dan membantu peserta didik agar memahami dirinya (self
understanding), menerima dirinya (self acceptance), mengarahkan dirinya (self
direction), dan merealisasikan dirinya (self realization) untuk memecahkan
masalah-masalah yang dihadapi di dalam kehidupannya.
Konseling adalah pemberian bimbingan
oleh yang ahli kepada seseorang dengan menggunakan metode psikologi dsb. ( Adi
Gunawan:2003)
Konseling adalah proses pemberian yang
dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang ahli kepada individu yang
sedang mengalami suatu masalah yang bermuara pada teratasinya masalah yang
dihadapi oleh klien (Prayitno, 1997:106).
Konseling merupakan upaya bantuan yang
diberikan kepada seseorang supaya dia memperoleh konsep diri dan kepercayaan
pada diri sendiri, untuk dimanfaatkan olehnya dan memperbaiki tingkah lakunya
pada masa yang akan datang (Mungin Eddy Wibowo, 1986:39).
Jadi, Konseling adalah pelayanan
bantuan oleh seorang ahli untuk individu untuk mengatasi masalah yang terjadi
dalam proses memperoleh konsep dirinya.
Dalam konteks pemberian layanan
bimbingan dan konseling, Prayitno (1997:35-36) mengatakan bahwa pemberian
layanan bimbingan konseling meliputi layanan orientasi, informasi, penempatan
dan penyaluran, pembelajaran, konseling perorangan, bimbingan kelompok, dan
konseling kelompok.
Dalam pendidikan di sekolah layanan
bimbingan dan konseling diberikan oleh guru, baik guru khusus mata pelajaran
bimbingan dan konseling (BK) maupun guru mata pelajaran dan wali kelas dengan
arahan dari kepala sekolah kepada peserta didik.
Pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah
dilaksanakan oleh guru pembimbing dengan aturan-aturan yang jelas dalam
petunjuk pelaksanaan bimbingan dan konseling. Sebelum kegiatan bimbingan dan
konseling terlaksana, pembimbing harus membuat program yang sesuai dengan
kondisi sekolah. Kemudian program tersebut dilaksanakan dan pada akhirnya
dievaluasi kegiatan-kegiatannya yang kemudian dilaporkan pada kepala sekolah.
Bantuan yang diberikan oleh guru
pembimbing kepada peserta didik di sekolah tidak hanya kepada mereka yang
bermasalah saja, tetapi juga diberikan kepada semua siswa. Baik itu yang
bermasalah maupun yang tidak bermasalah.
Peserta didik sebagai seorang individu yang sedang berada dalam proses berkembang atau menjadi (on becoming), yaitu berkembang ke arah kematangan atau kemandirian. Untuk mencapai kematangan tersebut, peserta didik memerlukan bimbingan karena mereka masih kurang memiliki pemahaman atau wawasan tentang dirinya dan lingkungannya, juga pengalaman dalam menentukan arah kehidupannya. Disamping itu terdapat suatu keniscayaan bahwa proses perkembangan siswa tidak selalu berlangsung secara mulus, atau bebas dari masalah terutama saat remaja. Dengan kata lain, proses perkembangan itu tidak selalu berjalan dalam alur linier, lurus, atau searah dengan potensi, harapan dan nilai-nilai yang dianut.
Peserta didik sebagai seorang individu yang sedang berada dalam proses berkembang atau menjadi (on becoming), yaitu berkembang ke arah kematangan atau kemandirian. Untuk mencapai kematangan tersebut, peserta didik memerlukan bimbingan karena mereka masih kurang memiliki pemahaman atau wawasan tentang dirinya dan lingkungannya, juga pengalaman dalam menentukan arah kehidupannya. Disamping itu terdapat suatu keniscayaan bahwa proses perkembangan siswa tidak selalu berlangsung secara mulus, atau bebas dari masalah terutama saat remaja. Dengan kata lain, proses perkembangan itu tidak selalu berjalan dalam alur linier, lurus, atau searah dengan potensi, harapan dan nilai-nilai yang dianut.
Bila tujuan pendidikan pada akhirnya adalah pembentukan
manusia yang utuh, maka proses pendidikan harus dapat membantu siswa mencapai
pematangan emosional dan sosial, sebagai individu dan anggota masyarakat selain
mengembangkan kemampuan inteleknya. Bimbingan dan konseling menangani
masalah-masalah atau hal-hal diluar bidang garapan pengajaran, tetapi secara
tidak langsung menunjang tercapainya tujuan pendidikan dan pengajaran sekolah
itu. Kegiatan ini dilakukan melalui layanan secara khusus terhadap semua siswa
agar dapat mengembangkan dan memanfaatkan kemampuannya secara penuh (Mortensen
dan Schemuller, 1969).
Dengan Misi Bimbingan Konseling, yaitu
memfasilitasi seluruh peserta didik memperoleh dan menguasai kompetensi di
bidang akademik, pribadi, sosial, karir berlandaskan pada tata kehidupan etis
normatif, dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Maka sudah selayaknyalah
seorang guru khususnya guru pembimbing merasa bertanggung jawab terhadap
peserta didik dan ikut berperan aktif memberikan layanan khusus kepada mereka.
2.2 Jenis Bimbingan dan Konseling
Jenis – jenis bimbingan di bedakan menjadi tiga, yaitu :
a.
Bimbingan
Pendidikan (Educational Guidance)
Dalam hal ini bantuan
yang dapat diberikan kepada anak dalam bimbingan pendidikan berupa informasi
pendidikan, cara belajar yang efektif, pemilihan jurusan, lanjutan sekolah,
mengatasi masalah belajar, mengambangkan kemampuan dan kesanggupan secara
optimal dalam pendidikan atau membantu agar para siswa dapat sukses dalm
belajar dan mampu menyesuaikan diri terhadap semua tuntutan sekolah.
b.
Bimbingan Pekerjaan
Bimbingan pekerjaan
merupakan kegiatan bimbingan yang pertama, yang dimulai oleh Frank Parson pada
tahun 1908 di Boston, Amerika Serikat. Departemen tenaga kerja di negara ini
telah memplopori bimbingan pekerjaan bagi kaum muda agar mereka memiliki bekal
untuk terjun ke masyarakat.
Bimbingan pekerjaan
telah masuk sekolah dan setiap siswa di sekolah lanjutan tungkat pertama dan
atas menerima bimbingan karir. Konsep Parson sangat sederhana, yaitu sekedar
membandingkandan mengkombinasikan antara hasil analisis individual dan hasil
analisis dunia kerja.
c. Bimbingan Pribadi
Bimbingan pribadi
merupakan batuan yang diberikan kepada siswa untuk embangun hidup pribadinya,
seperti motivasi, persepsi tentang diri, gaya hidup, perkembangan nilai-nilai
moral / agama dan sosial dalam diri, kemampuan mengerti dan menerima diri orang
lain, serta membantunya untuk memecahkan masalah pribadi yang ditemuinya.
Ketepatan bimbingan ini lebih terfokus pada pengembangan pribadi, yaitu
membantu para siswa sebagai diri untuk belajar mengenal dirinya, belajar
menerima dirinya, dan belajar menerapkan dirinya dalam proses penyesuaian yang
produktif terhadap lingkunganya.
Dalam bimbingan pribadi ini dapat dirinci
menjadi pokok-pokok berikut :
- pemantapan sikap dan kebiasaan serta pengembangan wawasan dalam beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME
- Pemantapan pemahaman tentang kekuatan diri dan pengembangan untuk kegiatan-kegiatan yang kreatif dan produktif, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun untuk peranya masa depan
- Pemantapan pemahaman tentang kelamahan diri dan usaha penanggulanganya.
- Pemantapan kemampuan mengambil keputusan.
- Pemantapan kemampuan mengarahkan diri sesuai dengan keputusan yang diambilnya.
- Pemantapan kemampuan berkomunikasi, baik melalui lisan maupun tulisan secara efektif
- Pemantapan kemampuan menerima dan menyampaikan pendapat serta berargumentasi secara dinamis, kreatif dan produktif.
2.3 Jenis Layanan dan Kegiatan Pendukung Bimbingan dan Konseling
Berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung perlu
dilakukan sebagai wujud nyata penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling
terhadap sasaran layanan, yaitu peserta didik (klien). Ada sejumlah layanan dan
kegiatan pendukung dalam bimbingan dan konseling di sekolah.
2.3.1
Jenis-jenis
Layanan Bimbingan dan Konseling
Suatu kegiatan bimbingan dan konseling disebut
lauyanan apabila kegiatan tersebut dilakukan melalui kontak langsung dengan
sasaran layanan (klien), dan secara lansung berkenaan dengan permasalahan
ataupun kepentingan tertentu yang dirasakan oleh sasaran layanan itu. Kegiatan
yang merupakan layanan itu mengemban fungsi tertentu dan pemenuhan fungsi
tersebut serta dampak positif layanan yang dimaksudkan diharapkan dapat
dirasakan oleh sasaran (klien) yang mendapatkan layanan tersebut.
a. Layanan
Orientasi
Layanan bimbingan dan
konseling yang memungkinkan peserta didik (klien) memahami lingkungan (seperti
sekolah) yang baru dimasuki peserta didik, untuk mempermudah dan memperlancar
berperannya peserta didik di lingkunagn yang baru itu.
b. Layanan
Informasi
Layanan bimbingan dan
konseling yang memungkinkan peserta didik (klien) menerima dan memahami berbagai informasi
(seperti informasi pendidikan dan informasi jabatan) yang dapat dipergunakan
sebagai bahan pertimbanagn dan pengambilan keputusan untuk kepentinag peserta
didik (klien).
c. Layanan
Penempatan dan Penyaluran
Layanan bimbingan dan
konseling yang memungkinkan peserta didik (klien ) memperoleh penempatan dan
penyaluran yang tepat (misalnya penempatan penyaluran di dalam kelas, kelompok
belajar, jurusan/ program studi, program latihan, magang, kegiatan
ekstra-kurikuler) sesuai dengan potensi, bakat dan minat, serta kondidi
pribadinya.
d. Layanan
Pembelajaran
Layanan bimbingan dan
konseling yang memungkkinkan peserta didik (klien) mengembangkan diri berkenaan
dengan sikap dan kebiasaan belajar yang baik, materi belajar yang cocok dengan
kecepatan dan kesulitan belajarnya, serta berbagai aspek tujuan dan kegiatan
belajar lainnya.
e. Layanan
Konseling Perorangan
Layanan bimbingan dan
konseling yang memungkinkan peserta didik (klien) mendapatkan layanan langsung
tatap muka (secara perorangan) dengan guru pembimbing dalam rangkapembahasan
dan pengentasan permasalahan pribadi yang dideritanya.
f. Layanan
Bimbingan Kelompok
Layanan bimbingan dan
konseling yang memungkinkan sejumlah peserta didik secara bersama-sama
melakukan dinamika kelompok memperoleh berbagai bahan dari nara sumber tertentu
(terutama dari guru pembimbinng) dan/ atau membahas secara bersama-sama pokok
bahasan (topik) tertentu yang berguna untuk menunjang pemahaman dan
kehidupannya sehari-hari dan/ atau untuk perkembangan dirinya baik sebagai
individu maupun sebagai pelajar, dan untuk pertimbangan dalam pengambilan
keputusan dan/ atau tindakan tertentu.
g. Layanan
Konseling Kelompok
Layanan bimbingan dan konseling
yang memungkinkan peserta didik (klien) memperoleh kesempatan untuk pembahasan
dan pengentasan permasalahan yang dialaminya melalui dinamika kelompok; masalah
yang dibahas itu adalah maslah-maslah pribadi yang dialami oleh masing-masing
anggota kelompok.
Berbagai jenis layanan tersebut
diatas dapat saling terkait dan menunjang yang satu terhadap lainnya, sesuai
dengan asas keterpaduan dalam bimbingan dan konseling.
2.3.2
Kegiatan
Pendukung Bimbingan dan Konseling
Selain kegiatan layanan tersebut diatas, dalam
bimbingan dan konseling dapat dilakukan sejumlah kegiatan lain, yang disebut
kegiatan pendukung. Kegiatan pendukung pada umumnya tiak ditujukan secara
langsung untuk memecahkan atau mengentaskan masalah klien, melainkan untuk
memungkinkan diperolehnya data dan keterangan lain serta kemudahan-kemudahan
atau komitmen yang akan membantu kelancaran dan keberhasilan kegiatan layanan
terhadappeserta didik (klien). Kegitan pendukung ini pada umumnya dilaksanakan
tanpa kontak langsung dengan sasaran layanan. Di sekolah, sejumlah kegiatan
pendukung yang pokok adalah sebagai berikut.
a. Aplikasi
Instrumentasi Bimbingan dan Konseling
Kegiatan pendukung
bimbingan dan konseling untuk mengumpulkan data dan keterangan tentang peserta
didik (klien), keterangan tentang lingkungan peserta didik dan “lingkungan yang
lebih luas”. Pengumpulan data ini dapat dilakukan dengan berbagai instrumen,
baik tes maupun non-tes.
b. Penyelenggaraan
Himpunan Data
Kegiatan pendukung
bimbingan dan konseling untuk menghimpun seluruh data dan keterangan yang
relevan dengan keperluan pengembangan peserta didik (klien). Himpuna data perlu
diselenggarakan secara berkelanjutan, sistem tik, komprehensif, terpadu dan
sifatnya tertutup.
c. Konferensi
Kasus
Kegiatan pendukung
bimbingan dan konseling untuk membahas permasalahan yang dialami oleh peserta
didik (klien) dalam suatu forum pertemuan yang dihadiri oleh berbagai pihak
yang diharapkan dapat memberikan bahan, keterangan, kemudahan dan komitmen bagi
terentaskannya permasalahn tersebut. Pertemuan dalam rangka konferensi kasus
bersifat terbatas dan tertutup.
d. Kunjungan
Rumah
Kegiatan pendukung
bimbingan dan konseling untuk memperoleh data, keterangan, kemudahan dan
komitmen bagi terentaskannya permasalahan peserta didik (klien) melalui
kunjungan ke rumahnya. Kegiata ini memerlukan kerja sama yang penuh dari orang
tua dan anggota keluarga lainnya.
e. Alih
Tangan Kasus
Kegiatan pendukung bimbingan dan
konseling untuk mendapatkan penanganan yang lebih tepat dan tuntas atas masalah
yang dialami peserta didk (klien) dengan memindahkan penanganan kasus dari satu
pihak ke pihak lainnya. Kegiatan ini memerlukan kerja sama yang erat dan mantap
antara berbagai pihak yang dapat memberikan bantuan atas penanganan tersebut
(terutama kerja sama dari ahli lain tempat kasus itu dialihtangankan).
Kegiatan layanan dan pendukung
bimbingna dan konseling tersebut kesemuanya saling terkait dan saling menunjang
baik lansung maupun tidak lansung. Saling keterkaiatn dan tunjan-menunjang
antara layanan dan kegiatan pendukungitu menyangkut pula fungsi-fungsi yang
diemban oleh masing-masing layanan/ kegiatan pendukung. Sebagaiman telah
dikemukakan diatas, setiap layanan / kegiatan pendukung harus secra disengaja
mengandung muatan fungsi atau fungsi-fungsi bimbingan dan konseling tertentu.
Lebih jauh, perlu dikemukakan bahwa
guru pembimbing wajib menyelenggarakan jenis-jenis layanan bimbingan dan
konseling tersebut dengan penyesuaian
sepenuhnya terhadap karakteristik peserta didk (klien) yabg dilayani.
Penyelenggaraan jenis-jenis layanan itu dibantu oleh kegiatan pendukung. Dalam
hal ini, perlu diingatkan bahwa kegiatan pendukung hanyalah sekedar pendukung,
yang ketidakterlaksanaannya tidak boleh mengganggu taua mengurangi frekuensi
dan intensitas pelaksanaan jenis-jenis layanan yang sifatnya llebih utama itu.
2.4 Prosedur Umum Layanan Bimbingan dan Konseling
Sebagai sebuah layanan profesional, layanan bimbingan dan konseling tidak
dapat dilakukan secara sembarangan, namun harus dilakukan secara tertib
berdasarkan prosedur tertentu, yang secara umum terdiri dari enam tahapan
sebagai, yaitu:
1. Identifikasi kasus
Identifikasi
kasus merupakan langkah awal untuk menemukan peserta didik yang diduga
memerlukan layanan bimbingan dan konseling. Robinson (Abin Syamsuddin Makmun,
2003) memberikan beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk mendeteksi
peserta didik yang diduga mebutuhkan layanan bimbingan dan konseling, yakni :
1.
Call them approach; melakukan wawancara dengan
memanggil semua peserta didik secara bergiliran sehingga dengan cara ini akan
dapat ditemukan peserta didik yang benar-benar membutuhkan layanan konseling.
2.
Maintain good relationship; menciptakan hubungan yang
baik, penuh keakraban sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara guru
pembimbing dengan peserta didik. Hal ini dapat dilaksanakan melalui berbagai
cara yang tidak hanya terbatas pada hubungan kegiatan belajar mengajar saja,
misalnya melalui kegiatan ekstra kurikuler, rekreasi dan situasi-situasi
informal lainnya.
3.
Developing a desire for counseling; menciptakan
suasana yang menimbulkan ke arah penyadaran peserta didik akan masalah yang
dihadapinya. Misalnya dengan cara mendiskusikan dengan peserta didik yang
bersangkutan tentang hasil dari suatu tes, seperti tes inteligensi, tes bakat,
dan hasil pengukuran lainnya untuk dianalisis bersama serta diupayakan berbagai
tindak lanjutnya.
4.
Melakukan analisis terhadap hasil belajar peserta
didik, dengan cara ini bisa diketahui tingkat dan jenis kesulitan atau
kegagalan belajar yang dihadapi peserta didik.
5.
Melakukan analisis sosiometris, dengan cara ini dapat
ditemukan peserta didik yang diduga mengalami kesulitan penyesuaian sosial.
2. Identifikasi
Masalah
Langkah ini merupakan upaya untuk
memahami jenis, karakteristik kesulitan atau masalah yang dihadapi peserta
didik. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar, permasalahan peserta didik dapat
berkenaan dengan aspek : (1) substansial – material; (2) struktural –
fungsional; (3) behavioral; dan atau (4) personality. Untuk mengidentifikasi
kasus dan masalah peserta didik, Prayitno dkk. telah mengembangkan suatu
instrumen untuk melacak masalah peserta didik, dengan apa yang disebut Alat
Ungkap Masalah (AUM). Instrumen ini sangat membantu untuk menemukan kasus dan
mendeteksi lokasi kesulitan yang dihadapi peserta didik, seputar aspek : (1)
jasmani dan kesehatan; (2) diri pribadi; (3) hubungan sosial; (4) ekonomi dan
keuangan; (5) karier dan pekerjaan; (6) pendidikan dan pelajaran; (7) agama,
nilai dan moral; (hubungan muda-mudi); (9) keadaan dan hubungan keluarga; dan
(10) waktu senggang.
3. Diagnosis
Diagnosis merupakan upaya untuk
menemukan faktor-faktor penyebab atau yang melatarbelakangi timbulnya masalah
peserta didik. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar faktor-faktor penyebab
kegagalan belajar peserta didik, bisa dilihat dari segi input, proses, ataupun
out put belajarnya. W.H. Burton membagi ke dalam dua faktor yang mungkin dapat
menimbulkan kesulitan atau kegagalan belajar peserta didik, yaitu : (1) faktor
internal; faktor yang besumber dari dalam diri peserta didik itu sendiri,
seperti : kondisi jasmani dan kesehatan, kecerdasan, bakat, kepribadian, emosi,
sikap serta kondisi-kondisi psikis lainnya; dan (2) faktor eksternal, seperti :
lingkungan rumah, lingkungan sekolah termasuk didalamnya faktor guru dan
lingkungan sosial dan sejenisnya.
4.
Prognosis
Langkah ini dilakukan untuk
memperkirakan apakah masalah yang dialami peserta didik masih mungkin untuk
diatasi serta menentukan berbagai alternatif pemecahannya, Hal ini dilakukan
dengan cara mengintegrasikan dan menginterpretasikan hasil-hasil langkah kedua
dan ketiga. Proses mengambil keputusan pada tahap ini seyogyanya terlebih
dahulu dilaksanakan konferensi kasus, dengan melibatkan pihak-pihak yang
terkait dengan masalah yang dihadapi siswa untuk diminta bekerja sama guna
membantu menangani kasus – kasus yang dihadapi, antara lain:
1.
Treatment
Langkah ini merupakan upaya untuk
melaksanakan perbaikan atau penyembuhan atas masalah yang dihadapi klien,
berdasarkan pada keputusan yang diambil dalam langkah prognosis. Jika jenis dan
sifat serta sumber permasalahannya masih berkaitan dengan sistem pembelajaran
dan masih masih berada dalam kesanggupan dan kemampuan guru pembimbing atau
konselor, maka pemberian bantuan bimbingan dapat dilakukan oleh guru atau guru
pembimbing itu sendiri (intervensi langsung), melalui berbagai pendekatan
layanan yang tersedia, baik yang bersifat direktif, non direktif maupun
eklektik yang mengkombinasikan kedua pendekatan tersebut.
Namun, jika permasalahannya
menyangkut aspek-aspek kepribadian yang lebih mendalam dan lebih luas maka
selayaknya tugas guru atau guru pembimbing/ konselor sebatas hanya membuat
rekomendasi kepada ahli yang lebih kompeten (referal atau alih tangan kasus).
a.
Evaluasi dan Follow Up
Cara manapun yang ditempuh, evaluasi
atas usaha pemecahan masalah seyogyanya tetap dilakukan untuk melihat seberapa
pengaruh tindakan bantuan (treatment) yang telah diberikan terhadap pemecahan
masalah yang dihadapi peserta didik.
Berkenaan dengan evaluasi bimbingan
dan konseling, Depdiknas (2003) telah memberikan kriteria-kriteria keberhasilan
layanan bimbingan dan konseling yaitu:
1. Berkembangnya pemahaman baru yang
diperoleh peserta didik berkaitan dengan masalah yang dibahas;
2. Perasaan positif sebagai dampak dari
proses dan materi yang dibawakan melalui layanan, dan
3. Rencana kegiatan yang akan
dilaksanakan oleh peserta didik sesudah pelaksanaan layanan dalam rangka
mewujudkan upaya lebih lanjut pengentasan masalah yang dialaminya.
Sementara itu, Robinson dalam Abin
Syamsuddin Makmun (2004) mengemukakan beberapa kriteria dari keberhasilan dan
efektivitas layanan yang telah diberikan, yang terbagi ke dalam kriteria yaitu
kriteria keberhasilan yang tampak segera dan kriteria jangka panjang.
Kriteria keberhasilan tampak segera,
diantaranya apabila:
1. Peserta didik (klien) telah
menyadari (to be aware of) atas adanya masalah yang dihadapi.
2. Peserta didik (klien) telah memahami
(self insight) permasalahan yang dihadapi.
3. Peserta didik (klien) telah mulai
menunjukkan kesediaan untuk menerima kenyataan diri dan masalahnya secara
obyektif (self acceptance).
4. Peserta didik (klien) telah menurun
ketegangan emosinya (emotion stress release).
5. Peserta didik (klien) telah menurun
penentangan terhadap lingkungannya
6. Peserta didik (klien) telah melai
menunjukkan sikap keterbukaannya serta mau memahami dan menerima kenyataan
lingkungannya secara obyektif.
7. Peserta didik (klien) mulai
menunjukkan kemampuannya dalam mempertimbangkan, mengadakan pilihan dan
mengambil keputusan secara sehat dan rasional.
8. Peserta didik (klien) telah
menunjukkan kemampuan melakukan usaha – usaha perbaikan dan penyesuaian diri
terhadap lingkungannya, sesuai dengan dasar pertimbangan dan keputusan yang
telah diambilnya.
Sedangkan kriteria keberhasilan
jangka panjang, diantaranya apabila:
1. Peserta didik (klien) telah
menunjukkan kepuasan dan kebahagiaan dalam kehidupannya yang dihasilkan oleh
tindakan dan usaha-usahanya.
2. Peserta didik (klien) telah mampu
menghindari secara preventif kemungkinan-kemungkinan faktor yang dapat
membawanya ke dalam kesulitan.
3. Peserta didik (klien) telah
menunjukkan sifat-sifat yang kreatif dan konstruktif, produktif, dan
kontributif secara akomodatif sehingga ia diterima dan mampu menjadi anggota
kelompok yang efektif.
3. Peran Guru Dalam Layanan Bimbingan dan
Konseling
Keberhasilan penyelenggaraan bimbingan
dan konseling di sekolah, tidak lepas dari peranan berbagai pihak di sekolah.
Selain Guru Pembimbing atau Konselor sebagai pelaksana utama, penyelenggaraan
Bimbingan dan konseling di sekolah, juga perlu melibatkan kepala sekolah, guru
mata pelajaran dan wali kelas. Berikut akan dijabarkan peran masing-masing
komponen pejabat di sekolah tersebut dalam layanan bimbingan dan konseling:
A. Peran Kepala Sekolah
Kepala sekolah selaku penanggung jawab
seluruh penyelenggaraan pendidikan di sekolah memegang peranan strategis dalam
mengembangkan layanan bimbingan dan konseling di sekolah. Secara garis
besarnya, Prayitno (2004) memerinci peran, tugas dan tanggung jawab kepala
sekolah dalam bimbingan dan konseling, sebagai berikut :
- Mengkoordinir segenap kegiatan yang diprogramkan dan berlangsung di sekolah, sehingga pelayanan pengajaran, latihan, dan bimbingan dan konseling merupakan suatu kesatuan yang terpadu, harmonis, dan dinamis.
- Menyediakan prasarana, tenaga, dan berbagai kemudahan bagi terlaksananya pelayanan bimbingan dan konseling yang efektif dan efisien.
- Melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap perencanaan dan pelaksanaan program, penilaian dan upaya tidak lanjut pelayanan bimbingan dan konseling.
- Mempertanggungjawabkan pelaksanaan pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah.
- Memfasilitasi guru pembimbing/konselor untuk dapat mengembangkan kemampuan profesionalnya, melalui berbagai kegiatan pengembangan profesi.
- Menyediakan fasilitas, kesempatan, dan dukungan dalam kegiatan kepengawasan yang dilakukan oleh Pengawas Sekolah Bidang BK.
B. Peran Guru Mata Pelajaran
Di sekolah, tugas dan tanggung jawab
utama guru adalah melaksanakan kegiatan pembelajaran siswa. Kendati demikian,
bukan berarti dia sama sekali lepas dengan kegiatan pelayanan bimbingan dan
konseling. Peran dan konstribusi guru mata pelajaran tetap sangat diharapkan
guna kepentingan efektivitas dan efisien pelayanan Bimbingan dan Konseling di
sekolah. Bahkan dalam batas-batas tertentu guru pun dapat bertindak sebagai
konselor bagi siswanya. Wina Senjaya (2006) menyebutkan salah satu peran yang
dijalankan oleh guru yaitu sebagai pembimbing dan untuk menjadi pembimbing baik
guru harus memiliki pemahaman tentang anak yang sedang dibimbingnya. Sementara
itu, berkenaan peran guru mata pelajaran dalam bimbingan dan konseling, Sofyan
S. Willis (2005) mengemukakan bahwa guru-guru mata pelajaran dalam melakukan
pendekatan kepada siswa harus manusiawi-religius, bersahabat, ramah, mendorong,
konkret, jujur dan asli, memahami dan menghargai tanpa syarat.
Prayitno (2003) memerinci peran, tugas
dan tanggung jawab guru-guru mata pelajaran dalam bimbingan dan konseling
adalah :
- Membantu memasyarakatkan pelayanan bimbingan dan konseling kepada siswa.
- Membantu guru pembimbing/konselor mengidentifikasi siswa-siswa yang memerlukan layanan bimbingan dan konseling, serta pengumpulan data tentang siswa-siswa tersebut.
- Mengalihtangankan siswa yang memerlukan pelayanan bimbingan dan konseling kepada guru pembimbing/konselor.
- Menerima siswa alih tangan dari guru pembimbing/konselor, yaitu siswa yang menuntut guru pembimbing/konselor memerlukan pelayanan pengajar /latihan khusus (seperti pengajaran/ latihan perbaikan, program pengayaan).
- Membantu mengembangkan suasana kelas, hubungan guru-siswa dan hubungan siswa-siswa yang menunjang pelaksanaan pelayanan pembimbingan dan konseling.
- Memberikan kesempatan dan kemudahan kepada siswa yang memerlukan layanan/kegiatan bimbingan dan konseling untuk mengikuti /menjalani layanan/kegiatan yang dimaksudkan itu.
- Berpartisipasi dalam kegiatan khusus penanganan masalah siswa, seperti konferensi kasus.
- Membantu pengumpulan informasi yang diperlukan dalam rangka penilaian pelayanan bimbingan dan konseling serta upaya tindak lanjutnya.
Sardiman (2001:142) menyatakan bahwa
ada sembilan peran guru dalam kegiatan Bimbingan dan Konseling, yaitu:
1) Informator,
guru diharapkan sebagai pelaksana cara mengajar informatif, laboratorium, studi
lapangan, dan sumber informasi kegiatan akademik maupun umum.
2) Organisator,
guru sebagai pengelola kegiatan akademik, silabus, jadwal pelajaran dan
lain-lain.
3) Motivator,
guru harus mampu merangsang dan memberikan dorongan serta reinforcement untuk mendinamisasikan
potensi siswa, menumbuhkan swadaya (aktivitas) dan daya cipta (kreativitas)
sehingga akan terjadi dinamika di dalam proses belajar-mengajar.
4) Director,
guru harus dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar siswa sesuai
dengan tujuan yang dicita-citakan.
5) Inisiator, guru sebagai pencetus ide dalam proses
belajar-mengajar.
6) Transmitter,
guru bertindak selaku penyebar kebijaksanaan dalam pendidikan dan pengetahuan.
7) Fasilitator,
guru akan memberikan fasilitas atau kemudahan dalam proses belajar-mengajar.
8) Mediator,
guru sebagai penengah dalam kegiatan belajar siswa.
9) Evaluator, guru mempunyai otoritas untuk menilai
prestasi anak didik dalam bidang akademik maupun tingkah laku sosialnya,
sehingga dapat menentukan bagaimana anak didiknya berhasil atau tidak.
C. Peran Wali Kelas
Sebagai pengelola kelas tertentu dalam
pelayanan bimbingan dan konseling, Wali Kelas berperan :
- Membantu guru pembimbing/konselor melaksanakan tugas-tugasnya, khususnya di kelas yang menjadi tanggung jawabnya.
- Membantu Guru Mata Pelajaran melaksanakan peranannya dalam pelayanan bimbingan dan konseling, khususnya di kelas yang menjadi tanggung jawabnya.
- Membantu memberikan kesempatan dan kemudahan bagi siswa, khususnya dikelas yang menjadi tanggung jawabnya, untuk mengikuti/menjalani layanan dan/atau kegiatan bimbingan dan konseling.
- Berpartisipasi aktif dalam kegiatan khusus bimbingan dan konseling, seperti konferensi kasus.
- Mengalihtangankan siswa yang memerlukan layanan bimbingan dan konseling kepada guru pembimbing/konselor.
4.
Penanganan Siswa Bermasalah di Sekolah
Di sekolah sangat mungkin ditemukan
siswa yang yang bermasalah, dengan menunjukkan berbagai gejala penyimpangan
perilaku. yang merentang dari kategori ringan sampai dengan berat. Upaya untuk
menangani siswa yang bermasalah, khususnya yang terkait dengan pelanggaran
disiplin sekolah dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu: (1) pendekatan
disiplin dan (2) pendekatan bimbingan dan konseling. Penanganan siswa bernasalah
melalui pendekatan disiplin merujuk pada aturan dan ketentuan (tata tertib)
yang berlaku di sekolah beserta sanksinya. Sebagai salah satu komponen
organisasi sekolah, aturan (tata tertib) siswa beserta sanksinya memang perlu
ditegakkan untuk mencegah sekaligus mengatasi terjadinya berbagai penyimpangan
perilaku siswa. Kendati demikian, harus diingat sekolah bukan “lembaga hukum”
yang harus mengobral sanksi kepada siswa yang mengalami gangguan penyimpangan
perilaku. Sebagai lembaga pendidikan, justru kepentingan utamanya adalah
bagaimana berusaha menyembuhkan segala penyimpangan perilaku yang terjadi pada
para siswanya.
Oleh karena itu, disinilah
pendekatan yang kedua perlu digunakan yaitu pendekatan melalui Bimbingan dan
Konseling. Berbeda dengan pendekatan disiplin yang memungkinkan pemberian
sanksi untuk menghasilkan efek jera, penanganan siswa bermasalah melalui
Bimbingan dan Konseling justru lebih mengutamakan pada upaya penyembuhan dengan
menggunakan berbagai layanan dan teknik yang ada. Penanganan siswa bermasalah
melalui Bimbingan dan Konseling sama sekali tidak menggunakan bentuk sanksi apa
pun, tetapi lebih mengandalkan pada terjadinya kualitas hubungan interpersonal
yang saling percaya di antara konselor dan siswa yang bermasalah, sehingga
setahap demi setahap siswa tersebut dapat memahami dan menerima diri dan
lingkungannya, serta dapat mengarahkan diri guna tercapainya penyesuaian diri
yang lebih baik.
Sebagai ilustrasi, misalkan di suatu
sekolah ditemukan kasus seorang siswi yang hamil akibat pergaulan bebas,
sementara tata tertib sekolah secara tegas menyatakan untuk kasus demikian,
siswa yang bersangkutan harus dikeluarkan. Jika hanya mengandalkan pendekatan
disiplin, mungkin tindakan yang akan diambil sekolah adalah berusaha memanggil orang
tua/wali siswa yang bersangkutan dan ujung-ujungnya siswa dinyatakan
dikembalikan kepada orang tua (istilah lain dari dikeluarkan). Jika tanpa
intervensi Bimbingan dan Konseling, maka sangat mungkin siswa yang bersangkutan
akan meninggalkan sekolah dengan dihinggapi masalah-masalah baru yang justru
dapat semakin memperparah keadaan. Tetapi dengan intervensi Bimbingan dan
Konseling di dalamnya, diharapkan siswa yang bersangkutan bisa tumbuh perasaan
dan pemikiran positif atas masalah yang menimpa dirinya, misalnya secara sadar
menerima resiko yang terjadi, keinginan untuk tidak berusaha menggugurkan
kandungan yang dapat membahayakan dirinya maupun janin yang dikandungnya,
keinginan untuk melanjutkan sekolah, serta hal-hal positif lainnya, meski
ujung-ujungnya siswa yang bersangkutan tetap harus dikeluarkan dari sekolah.
Perlu digarisbawahi, dalam hal ini
bukan berarti Guru BK/Konselor yang harus mendorong atau bahkan memaksa siswa
untuk keluar dari sekolahnya. Persoalan mengeluarkan siswa merupakan wewenang
kepala sekolah, dan tugas Guru BK/Konselor hanyalah membantu siswa agar dapat
memperoleh kebahagiaan dalam hidupnya.Lebih jauh, meski saat ini paradigma
pelayanan Bimbingan dan Konseling lebih mengedepankan pelayanan yang bersifat
pencegahan dan pengembangan, pelayanan Bimbingan dan Konseling terhadap siswa
bermasalah tetap masih menjadi perhatian. Dalam hal ini, perlu diingat bahwa
tidak semua masalah siswa harus ditangani oleh guru BK (konselor). Dalam hal
ini, Sofyan S. Willis (2004) mengemukakan tingkatan masalah berserta mekanisme
dan petugas yang menanganinya, sebagaimana dalam penjelasan berikiut :
1.
Masalah (kasus) ringan, seperti: membolos, malas, kesulitan belajar pada
bidang tertentu, berkelahi dengan teman sekolah, bertengkar, minum minuman keras
tahap awal, berpacaran, mencuri kelas ringan. Kasus ringan dibimbing oleh wali
kelas dan guru dengan berkonsultasi kepada kepala sekolah (konselor/guru
pembimbing) dan mengadakan kunjungan rumah.
2.
Masalah (kasus) sedang, seperti: gangguan emosional, berpacaran, dengan
perbuatan menyimpang, berkelahi antar sekolah, kesulitan belajar, karena
gangguan di keluarga, minum minuman keras tahap pertengahan, mencuri kelas
sedang, melakukan gangguan sosial dan asusila. Kasus sedang dibimbing oleh guru
BK (konselor), dengan berkonsultasi dengan kepala sekolah, ahli/profesional,
polisi, guru dan sebagainya. Dapat pula mengadakan konferensi kasus.
3.
Masalah (kasus) berat, seperti: gangguan emosional berat, kecanduan alkohol
dan narkotika, pelaku kriminalitas, siswa hamil, percobaan bunuh diri,
perkelahian dengan senjata tajam atau senjata api. Kasus berat dilakukan
referal (alihtangan kasus) kepada ahli psikologi dan psikiater, dokter, polisi,
ahli hukum yang sebelumnya terlebih dahulu dilakukan kegiatan konferensi kasus.
Dengan melihat penjelasan di atas, tampak jelas
bahwa penanganan siswa bermasalah melalui pendekatan Bimbingan dan Konseling
tidak semata-mata menjadi tanggung jawab guru BK/konselor di sekolah tetapi
dapat melibatkan pula berbagai pihak
lain untuk bersama-sama
membantu siswa agar memperoleh penyesuaian diri dan
perkembangan pribadi secara optimal.
Sangat bermanfaat, dapat menambah wawasan tentang pendidikan . Terima kasih banyak atas postingannya.
BalasHapus